Imagine a particle of mass m, constrained to move along the x-axis, subject to some specified force F(x, t). The program of classical mechanics is to deter- mine the position of the particle at any given time: x(t). Once we know that, we can figure out the velocity (\( v=\frac{dx}{dt}\) ), the momentum (p = mv), the kinetic energy ( \( T=\frac{1}{2}mv^2 \) ), or any other dynamical variable of interest. And how do we go about determining x(t)? We apply Newton's second law: F = ma. (For conservative systems the only kind we shall consider, and, fortunately, the only kind that occur at the microscopic level---the force can be expressed as the derivative of a potential energy function, \( F=-\frac{\partial V}{\partial x} \) , and Newton's law reads \( m\frac{d^2x}{dt^2}=-\frac{\partial V}{\partial x} \) .) This, together with appropriate initial conditions (typically the position and velocity at t 0), determines x(t). Quantum mechanics approaches this same problem quite differentl
Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan kepribadian tidak hanya berasal dari lingkungan budaya pada umumnya, melainkan dapat juga datang dari lingkungan sekolah.
Majalah TIME, 15 April 2002, misalnya melaporkan kasus berikut (yang kemudian dikenal dengan kasus KOBE) :
Di Indonesia sendiri, salah satu kasus terkenal adalah seorang pelajar SMU di Medan bernama Rizal yang membunuh ayah, ibu dan tiga saudara kandungnya, setelah ia dimarahi oleh ayahnya (seorang saudara lain selamat, karena sedang di luar kota). Selain di duga ada pengaruh penyalahgunaan obat, ternyata Rizal adalah anak bungsu dari keluarga yang semuanya sarjana ( ayahnya dokter, kakak - kakaknya dokter atau sarjana lainnya), dan Rizal juga diharapkan untuk menjadi sarjana sehingga diduga bahwa Rizal menjadi tertekan karenanya.
Stres mental seperti itu, menurut laopran majalah TIME tersebut disebabkan karena sistem pendidikan di Asia sangat mengutamakan prestasi sekolah, khususnya dalam bidang Matematika dan Ilmu Pasti (IPA) sebagai satu-satunya tolok ukur perstasi seseorang (sejak TK sampai universitas).
Tidak mengherankan bahwa setiaporang tua berusaha memacu anaknya untuk menjadi juara kelas dan setiap anak yang tidak sukses dalam pelajaran Matematika dan IPA dianggap sebagai pecundang. Dampaknya adalah bahwa banyak anak (khususnya remaja) yang putus asa, karena tidak pernah diperhitungkan prestasinya (walaupun mungkin ia olahragawan atau seniman yang baik) sehingga bisa menimbulkan sikap acuh tak acuh bahkan agresif kepada orang lain (seperti contoh-contoh di atas) atau kepada diri sendiri (angka bunuh diri pun relatif tinggi di negara-negara Asia).
Majalah TIME, 15 April 2002, misalnya melaporkan kasus berikut (yang kemudian dikenal dengan kasus KOBE) :
Kobe adalah sebuah kota di jepang yang tenang dan tradisional. Setiap pagi dan petang karyawan dan karyawati serta pelajar-pelajar sekolah pergi dan pulang ke kantor dan sekolah masing-masing, di lampu lalu lintas pengemudi mengurangi kecepatannya ketika lampu kunging menyala (bukan justru mempercepatnya), dan seterusnya. Pokoknya tidak ada yang menyangka bahwa di tengah masyarakat yang tradisional dan disiplin itu, terpendam masalah yang besar.
Tetapi pada suatu hari, di tahun 1997, ketenangan itu terusik. Seorang anak laki - laki berusia 14 tahun diskors dari sekolah karena berkelahi. Untuk mengisi waktunya selama tidak ke sekolah ia menyiksa kucing -kucing dan mengumpulkan berbagai pisau. Pada suatu hari ia mengajak kawan sekolahnya yang berusia 11 tahun untuk bermain ke hutan yang sepi. Di situ kawannya dibunuh dan setelah dipotong, kepalanya diletakkan di depan gerbang sekolah, dan di mulut kepala tanpa badan itu diselipkan secarik kertas bertuliskan: "Ini adalah balas dendam pada sistem sekolah yang kelewat memaksa dan masyarakat yang menciptakannya".Dua tahun setelah kasus Kobe itu, seorang remaja membunuh seorang anak berusia 7 tahun di halaman sekolahnya, setahun kemudian seorang remaja 17 tahun memukuli setiap orang yang lewat dengan pemukul baseball di sebuah pusat keramaian di Tokyo. Kasus - kasus serupa juga terjadi di Korea Selatan dan Hongkong.
Di Indonesia sendiri, salah satu kasus terkenal adalah seorang pelajar SMU di Medan bernama Rizal yang membunuh ayah, ibu dan tiga saudara kandungnya, setelah ia dimarahi oleh ayahnya (seorang saudara lain selamat, karena sedang di luar kota). Selain di duga ada pengaruh penyalahgunaan obat, ternyata Rizal adalah anak bungsu dari keluarga yang semuanya sarjana ( ayahnya dokter, kakak - kakaknya dokter atau sarjana lainnya), dan Rizal juga diharapkan untuk menjadi sarjana sehingga diduga bahwa Rizal menjadi tertekan karenanya.
Stres mental seperti itu, menurut laopran majalah TIME tersebut disebabkan karena sistem pendidikan di Asia sangat mengutamakan prestasi sekolah, khususnya dalam bidang Matematika dan Ilmu Pasti (IPA) sebagai satu-satunya tolok ukur perstasi seseorang (sejak TK sampai universitas).
Tidak mengherankan bahwa setiaporang tua berusaha memacu anaknya untuk menjadi juara kelas dan setiap anak yang tidak sukses dalam pelajaran Matematika dan IPA dianggap sebagai pecundang. Dampaknya adalah bahwa banyak anak (khususnya remaja) yang putus asa, karena tidak pernah diperhitungkan prestasinya (walaupun mungkin ia olahragawan atau seniman yang baik) sehingga bisa menimbulkan sikap acuh tak acuh bahkan agresif kepada orang lain (seperti contoh-contoh di atas) atau kepada diri sendiri (angka bunuh diri pun relatif tinggi di negara-negara Asia).
perlu ada reformasi pendidikan di negeri kita
ReplyDeletebetul.. sekolah di negeri kita harus ramah dan tidak menegangkan..
ReplyDelete