Segala puji bagi Allah I yang telah memberikan kepada kita nikmat iman dan islam serta  kesehatan, karunia yang tiada taranya yang telah diberikan-Nya kepada kita  sebagai hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada manusia  terbaik sepanjang zaman dan penutup para nabi dan rasul, Muhammad r, yang telah membawa manusia dari alam jahiliyah kepada masa  yang terang benderang yang penuh dengan iman dan ilmu pengetahuan, juga kepada  para keluarga, sahabat, dan orang-orang yang tetap istiqamah menegakkan risalah  yang dibawanya hingga akhir zaman.
          Salah satu karunia Allah I yang diberikannya kepada umat Islam adalah tidak adanya  perbedaan bahwa sumber utama dalam hukum dan sikap hidup kita adalah al-Qur`an  dan as-Sunnah. Ketika Rasulullah r  wafat, Allah I telah menyempurnakan ajaran agama ini, seperti disebutkan dalam  firman-Nya:
الْيَوْمَ  أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ  اْلإِسْلاَمَ دِينًا
.  Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan  kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. Al-Maidah:3)
          Demikian pula dengan sunnah, tidak ada  satu sisi pun, baik yang berhubungan dengan syari'at atau pun dalam kehidupan  sehari-hari, kecuali telah disampaikan dan dicontohkan oleh beliau r, seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sunnah.
          Umat Islam di masa Rasulullah r (baca: sahabat) selalu kembali kepada beliau r setiap kali terjadi perbedapat pendapat atau perselisihan di  antara mereka. Setelah Rasulullah r  menjelaskan, sirnalah perselisihan dan perbedaan di antara mereka. Atau terjadi  kasus yang cukup rumit, sehingga Rasulullah r berdiam diri menunggu turunnya al-Qur`an, namun setelah  turunnya al-Qur`an yang menjelaskan realita dan hukumnya, sirnalah segala  persoalan yang mengganjal mereka. Seperti kasus 'berita bohong' (hadits ifk)  yang dialamatkan kepada 'Aisyah radhiyallahu 'anha dan juga penyebab  turunnya ayat tentang li'an dalam surah an-Nuur yang dialami salah  seorang sahabat Rasulullah r, yaitu Hilal bin Umayyah t, salah satu dari tiga orang yang Allah I menerima taubatnya ketika ketinggalan dalam perang Tabuk pada  tahun ke sembilan Hijriyah.
          Ketika Rasulullah r telah meninggal dunia, mulailah terjadi perbedaan pendapat di kalangan  ulama, tetapi bukan persoalan yang menyangkut aqidah atau prinsip dalam Islam.  Kita yakin bahwa para ulama tidak mungkin meyakini suatu hukum syari'at atau  memberikan fatwa kecuali yang sesuai dengan tuntutan al-Qur`an dan sunnah  Rasulullah r, namun sebagai manusia biasa yang tidak ma'shum, mungkin  saja seseorang keliru dalam memahami kandungan yang terdapat al-Qur`an dan  sunnah, tanpa bermaksud menyalahi apalagi menentang atau berpaling dari  keduanya.
          Berikut ini adalah beberapa sebab  terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama, yang di antaranya adalah:
1.       Nash  atau dalil dalam suatu masalah tidak sampai kepada seseorang yang keliru dalam  mengambil suatu keputusan atau memberikan fatwa. Kasus seperti ini bukan hanya  terjadi di masa sekarang, bahkan pernah terjadi beberapa kali di masa sahabat  Rasulullah r. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa di masa pemerintahan  Amirul Mukminin Umar bin Khaththab t,  setelah Palestina di kuasai kaum muslimin, Khalifah Umar t melakukan perjalanan menuju Palestina bersama satu rombongan  dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Ketika di tengah perjalanan, terdengarlah  kabar bahwa di negeri Syam tengah dilanda wabah yang sangat berbahaya serta  telah banyak menelan korban jiwa.[1]  Mendengar berita itu, Umar t menahan perjalanan dan bermusyawarah dengan para pembesar dari  kalangan Muhajirin dan Anshar. Terjadilah perbedaan pendapat di antara mereka  dalam masalah, apakah mereka meneruskan perjalanan atau kembali ke Madinah?  Yang berpendapat untuk kembali ke Madinah memberikan argomentasi bahwa masuknya  mereka ke kota  itu akan membawa mereka kepada kematian, karena wabah itu sangat berbahaya.  Sedangkan pendapat kedua memberikan hujjah bahwa semua yang terjadi tidak  pernah terlepas dari qadha dan qadar Allah I. Semua itu telah tercatat di Lauhul Mahfuzh. Pada saat itulah  Abdurrahman bin Auf t datang dan berkata, 'Sesungguhnya saya mempunyai pengetahuan  tentang hal ini, saya pernah mendengar Rasulullah r bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِى أَرْضٍ فَلاَ  تَقْدُمُوْا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوْا  فِرَارًا مِنْهُ.
"Apabila  kalian mendengar berita tentangnya (penyakit tha'un) di suatu negeri, maka  janganlah kamu memasukinya. Dan ketika wabah penyakit itu tengah terjadi,  sedang kamu berada di sana, maka janganlah keluar (pergi meninggalkan negeri  itu) karena lari dari penyakit tersebut."[2]
          Setelah mendengar hadits tersebut,  semuanya tunduk dan patuh terhadap sunnah Rasulullah r dan kembali ke kota  Madinah.
          Demikian pula yang sering terjadi di  masa sekarang, sering kita dengar perbedaan pendapat di kalangan para ulama,  dan salah satu penyebab yang dominan adalah tidak sampainya nash atau dalil  kepada orang yang keliru dalam mengambil suatu keputusan hukum, di samping  adanya sebab-sebab yang lain tentunya. Wallahu A'lam.
2.       Hadits  (dalil) telah sampai kepada seseorang yang kebetulan keliru dalam mengambil  suatu keputusan, namun ia kurang percaya kepada pembawa berita atau yang  meriwayatkan hadits. Misalnya, imam pulan mengatakan bahwa hadits ini  shahih, sedangkan imam yang lain berpandangan bahwa hadits tersebut dha'if  (lemah). Seperti imam Nawawi rahimahullah berkeyakinan  bahwa hadits tentang qunut dalam shalat subuh  adalah shahih, seperti yang dia tekankan dalam al-Majmu' Syarh al-Muhazzab.  Sementara itu, mayoritas ulama hadits dari masa ke masa meyakini bahwa hadits  itu dha'if dan tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum syari'at. Ini hanyalah  sebuah contoh, masih banyak contoh lain yang serupa, namun kita cukupkan dengan  satu contoh itu. Hal ini juga pernah terjadi di masa khalifah Umar bin  al-Khaththab t, ketika beliau menolak riwayat Fathimah binti Qais radhiyallahu  'anha bahwa perempuan yang telah dicerai yang ketiga kalinya oleh suaminya,  perempuan itu tidak berhak lagi mendapatkan hak terhadap nafkah dan tempat  tinggal dari suaminya. Khalifah Umar t  menolak riwayat itu karena kurang percaya terhadap orang yang meriwayatkan  hadits tersebut. Wallahu A'lam.
3.       Dalil  (hadits) telah sampai kepada orang tersebut, namun ia keliru dalam memahaminya.  Contoh perbedaan seperti ini pernah terjadi di zaman Rasulullah r, bahkan pada masa hidup Rasulullah r. Peritistiwa itu bermula ketika Rasulullah r baru selesai perang Ahzab pada tahun ke lima Hijriyah dan meletakkan peralatan  perang. Pada saat itu, datanglah malaikat Jibril u dan berkata, 'Berangkatlah menuju perkampungan Bani Quraizhah.'  Maka saat itu juga Rasulullah r memerintahkan kepada para sahabat agar segera berangkat menuju  perkampungan mereka dan bersabda:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ إِلاَّ فِى  بَنِي قُرَيْظَةَ
"Janganlah seseorang shalat Ashar  kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah." Muttafaqun 'alaih.[3]
Para  sahabat berbeda pendapat dalam memahami nash hadits ini. Sebagian mereka  memahami bahwa yang dimaksud Nabi r  adalah agar mereka segera berangkat, sehingga sampai di perkampungan Bani  Quraizhah sebelum shalat 'ashar. Karena itulah, ketika tiba waktu shalat  'ashar, sedangkan mereka masih berada di tengah perjalanan, mereka tetap  melaksanakan shalat 'ashar dan tidak menta'khirkannya hingga sampai di  perkampungan Bani Quraizhah. Sedangkan yang lain memahami bahwa yang dimaksud  Rasulullah r adalah agar mereka jangan melaksanakan shalat 'ashar kecuali di  perkampungan Bani Quraizhah. Sehingga ketika tiba waktu shalat 'ashar,  sedangkan mereka masih berada di tengah perjalanan, mereka tidak langsung  melaksanakan shalat 'ashar dan menundanya hingga sampai di perkampungan Bani  Quraizhah. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah r, beliau tidak memberikan komentar apa-apa, dan tidak mencela  kelompok yang manapun.          Tidak  diragukan lagi, bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat dalam waktunya  dan tidak menundanya hingga keluar dari waktunya, karena kewajiban melaksanakan  shalat dalam waktunya adalah dengan dalil yang jelas, sedangkan dalil (hadits)  ini masih mengandung beberapa penafsiran. 
Kemungkinan besar, inilah penyebab paling dominan yang melatar  belakangi terjadinya perbedaan di kalangan para ulama dalam persoalan far'iyah  (cabang), namun bukan yang menyangkut persoalan prinsif di dalam syari'at Islam.  Hadits-hadits Rasulullah r telah dibukukan dalam kitab-kitab hadits, baik dalam kitab  shahih, sunan, masanid, ataupun ma'ajim. Namun pemahaman setiap orang,  seringkali berbeda satu sama lain. Wallahu A'lam.
4.       Dalil  telah sampai kepadanya tapi sudah dinasakh, namun ia tidak mengetahui dalil  yang menasakhnya. Dalam kasus seperti ini, orang yang tidak mengetahui adanya  nasakh dimaafkan, karena asal suatu masalah adalah tidak adanya nasakh, sampai  diketahui dalil yang menasakhnya. Termasuk dalam sebab ini adalah pendapat Ibnu  Mas'ud t tentang meletakkan kedua tangan ketika ruku'. Di permulaan Islam,  disyari'atkan bagi orang yang shalat menutup kedua tangan dan meletakkannya di  antara kedua lutut ketika ruku'. Hukum ini kemudian dinasakh dengan meletakkan  dua telapak tangan pada dua lutut. Al-Bukhari telah meriwayatkan tentang hal  ini di dalam Shahih-Nya. Abdullah bin Mas'ud t tidak mengetahui tentang hal ini dan tetap melaksanakan shalat  seperti pada masa di awal Islam. Ketika al-Alqamah dan al-Aswad shalat di  sampingnya dan meletakkan kedua tangan pada kedua lutut, Ibnu Mas'ud t menegur keduanya. Kenapa? Karena ia tidak mengetahui adanya  nashakh. Seseorang tentu tidak diberikan beban di luar batas kemampuannya. Wallahu  A'lam.
5.       Hadits  (dalil) telah sampai kepadanya, namun ia lupa terhadap dalil tersebut. Sudah  menjadi sunnatullah, bahwa lupa adalah bagian dari fitrah kita sebagai manusia  biasa. Banyak orang yang telah hapal sekian banyak hadits-hadits Rasulullah r, namun kemudian ia lupa. Ini merupakan salah satu penyebab  terjadinya terjadi perbedaan pendapat, walau dalam porsi yang tidak terlalu  besar.
Bagaimana  sikap kita terhadap perbedaan pendapat ini?
          Kalau kita menemukan perbedaan seperti  yang telah disebutkan di atas, siapakah yang harus kita ikuti? Apakah kita akan  mengikuti seorang imam dan tidak pernah keluar dari pendapatnya, walau pun  kebenaran ada pada pendapat yang lain? Ataukah kita mengikuti pendapat yang  lebih kuat sesuai dengan dalil-dalil yang ada, walau berbeda pendapat dengan  imam yang kita ikuti? 
          Jawaban yang benar adalah yang kedua,  karena wajib bagi yang mengetahui dalil yang shahih untuk mengikutinya, walau  berbeda pendapat dengan para imam. Karena mereka adalah manusia yang mungkin  saja keliru dalam memberikan fatwa atau mengambil kesimpulan dalam suatu hukum.  Siapapun yang meyakini bahwa ada seseorang selain Rasulullah r yang harus diambil pendapatnya setiap waktu dan keadaan,  berarti dia meyakini bahwa selain beliau r ada yang memiliki keistimewaan risalah atau ada yang ma'shum  (dipelihara dari dosa dan kesalahan). Padahal tidak ada seorang pun yang  memiliki keistimewaan seperti ini selain Rasulullah r, dan setiap orang bisa diterima pendapatnya atau ditolak  kecuali yang diriwayatkan dari Rasulullah r dengan sanad yang shahih. Wallahu A'lam.
Dikutip  dari "Kitab al-Ilmi" karya Syaikh Muhammad bin Shalih  al-'Utsaimin rahimahullah.
[1]  Dalam sejarah Islam disebut dengan wabah  'Tha'un Amwas'. Wabah ini telah menelan korban sekitar 25.000 jiwa, termasuk di  antaranya adalah panglima besar Abu Ubaidah Amir bin al-Jarrah t dan Mu'adz bin Jabal t.