Imagine a particle of mass m, constrained to move along the x-axis, subject to some specified force F(x, t). The program of classical mechanics is to deter- mine the position of the particle at any given time: x(t). Once we know that, we can figure out the velocity (\( v=\frac{dx}{dt}\) ), the momentum (p = mv), the kinetic energy ( \( T=\frac{1}{2}mv^2 \) ), or any other dynamical variable of interest. And how do we go about determining x(t)? We apply Newton's second law: F = ma. (For conservative systems the only kind we shall consider, and, fortunately, the only kind that occur at the microscopic level---the force can be expressed as the derivative of a potential energy function, \( F=-\frac{\partial V}{\partial x} \) , and Newton's law reads \( m\frac{d^2x}{dt^2}=-\frac{\partial V}{\partial x} \) .) This, together with appropriate initial conditions (typically the position and velocity at t 0), determines x(t). Quantum mechanics approaches this same problem quite differentl
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
A'masy meriwayatkan dari orang yang menceritakan kepadanya, ia berkata: Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: 'Jika aku mengolok olok anjing niscaya aku merasa khawatir menjadi anjing, sungguh aku membenci seorang laki laki yang menganggur, tidak dalam pekerjaan akhirat dan tidak pula pekerjaan dunia.'[1]
Dari Hasan al-Bashri rahimahullah, ia berkata: 'Wahai keturunan Adam 'alaihissalam, sesungguhnya engkau adalah beberapa hari, setiap kali pergi satu hari niscaya telah pergi sebagiannya.'[2]
Dari Hasan pula, ia berkata: 'Saya telah bertemu beberapa kaum, salah seorang dari mereka lebih pelit terhadap umurnya dari uangnya.'[3]
Dari ucapan Hasan juga dalam memberikan nasehat kepada para muridnya untuk membuat mereka zuhud terhadap dunia dan senang terhadap akhirat: 'Janganlah mata benda dunia yang sedikit lagi fana melalaikan engkau, janganlah menunggu nafasmu karena ia cepat berkurang dari usiamu, maka bersegeralah sebelum ajalmu, janganlah engkau mengatakan 'besok, besok,' karena engkau tidak pernah tahu kapanlah engkau akan kembali kepada Allah ta'ala.'[4]
Ar-Raqqam berkata: Aku bertanya kepada Abdurrahman (maksudnya ibnu Abi Hatim) tentang begitu banyaknya ia mendengar ilmu dan pertanyaannya kepada bapaknya, ia menjawab: 'Terkadang ia sedang makan dan aku membacakan atasnya, ia sedang berjalan dan aku membacakan atasnya, ia masuk kamar mandi dan aku membacakan atasnya, dan ia masuk ke rumah mencari sesuatu dan aku membacakan atasnya.'[5]
Ar-Razi berkata: Aku mendengar Ali bin Ahmad al-Khawarizmy berkata: Aku mendengar Abdurrahman bin Abi Hatim berkata: 'Kami berada di Mesir selama tujuh bulan, tidak pernah makan kuah, setiap waktu kami di siang hari di bagi di majelis majelis para syaikh, di malam hari digunakan untuk menyalin dan muqabalah (membandingkan kitab asli dan salinan). Ia berkata: 'Pada satu hari, aku bersama temanku mendatangi seorang syaikh, mereka berkata: Beliau sakit. Di jalan saat pulang, kami melihat ikan yang kami sukai, kami pun membelinya. Maka tatkala kami sampai di rumah, tibalah waktu menghadiri majelis syaikh maka kami tidak bisa memasaknya, dan kami langsung menuju majelis. Maka kami terus seperti itu hingga tiga hari, dan ikan itu hampir berubah, maka kami memakannya mentah, kami tidak punya waktu untuk memberikannya kepada orang yang membakarnya. Kemudian ia berkata: 'Ilmu tidak bisa didapatkan dengan tubuh yang santai.'[6]
Qasim bin 'Asakir berkata, dari Sulaim bin Ayub, ia berkata: Diceritakan orang kepadaku bahwa ia menghisab dirinya pada hitungan nafas, ia tidak membiarkan waktu berlalu tanpa faedah, bisa jadi menyalin atau belajar atau membaca. Dan diceritakan orang kepadaku bahwa ia menggerakkan kedua bibirnya sampai ia menggerakkan penanya.[7]
Abul Wafa` Ali bin Aqil menceritakan tentang dirinya, ia berkata: 'Sesungguhnya tidak halal bagiku menyia nyiakan satu waktu dari umurku, sehingga bila mengistirahatkan lisanku dari mudzakarah dan diskusi, dan mengistirahatkan mataku dari muthala'ah, aku menggunakan pikiranku di saat istirahatku dan aku sedang berbaring, maka aku tidak bangkit kecuali terlintas di benakku apa yang akan kutuliskan, dan sungguh aku mendapatkan semangatku terhadap ilmu di saat usia delapan puluhan melebihi yang kudapatkan di saat aku berusia dua puluhan.[8]
Dan ia berkata pula: 'Dan aku berusaha semaksimal mungkin untuk mempersingkat waktu makanku, sehingga aku memilih kue kering dan memakannya dengan air dari pada memakan roti, karena perbedaan waktu mengunyahnya, agar ada waktu untuk muthala'ah atau mencatat faedah yang belum kudapatkan.[9]
Semoga Allah ta'ala memberi rahmat kepada wazir yang faqih Yahya bin Muhammad bin Hubairah –guru ibnul Jauzy- ketika ia berkata:
Waktu lebih mahal yang harus dijaga – dan aku melihatnya lebih gampang hilang darimu.[10]
Di antara yang disebutkan oleh Ibnu Nafis -Syaikh kedokteran di masanya- apabila ia ingin mengarang, diletakkan pena yang sudah diraut, ia memalingkan wajahnya ke dinding, ia mulai mengarang yang ada dalam benaknya, menulis seperti aliran air apabila turun ke bawah. Apabila pena mulai tumpul, ia melemparnya dan mengambil yang lain agar tidak tersia sia waktu dalam meraut pena...Syaikh Alauddin –maksudnya Ibnu Nafis- masuk ke pemandian di pintu Zahumah, maka tatkala sedang mandi, ia keluar menuju tempat ganti baju, ia meminta dawat, pena dan kertas, ia mulai menulis di Nabdh hingga menyelesaikannya, kemudian ia kembali memasuki pemandian dan menyelesaikan mandinya.[11]
Ibnul Jauzy rahimahullah berkata tentang dirinya: 'Sungguh aku melihat banyak orang bergaul bersamaku seperti kebiasaan manusia yang banyak berkunjung, mereka menamakan hal itu sebagai pelayanan, meminta duduk bersama, berbicara tentang pembicaraan manusia yang tidak berguna, dan diselingi menggunjing.
Ini adalah sesuatu yang banyak dilakukan manusia di masa kami, terkadang yang dikunjungi meminta hal itu dan merindukannya, serta merasa asing bila sendirian, terutama di hari lebaran. Maka engkau melihat mereka berjalan bersama sama, tidak mencukupkan diri hanya memberi salam dan mengucapkan selamat, bahkan mencampur hal itu dengan perkara yang kusebutkan berupa menyia nyiakan waktu.
Maka tatkala aku melihat bahwa waktu adalah sangat berharga dan wajib mengambil kesempatan dengan melakukan kebaikan, aku membenci hal itu dan aku tetap bersama mereka di antara dua perkara: jika aku mengingkari hal itu niscaya terjadilah keterasingan hingga terputus hubungan, dan jika aku menerimanya darinya mereka niscaya waktu hilang sia sia, maka jadilah aku menghindari pertemuan sebatas kemampuan, apabila terpaksa aku membatasi ucapan agar segera berpisah.
Kemudian aku menyiapkan pekerjaan yang tidak mengganggu pembicaraan di saat bertemu mereka agar waktu tidak hilang percuma, maka aku menyiapkan kertas untuk ditulis, menajamkan pena, mengikat buku, karena semua itu adalah keharusan. Tidak perlu berpikir dan konsentrasi, maka aku menyiapkannya untuk waktu kunjungan mereka agar tidak hilang sedikitpun dari waktuku.'[12]
[8] Al-Muntazham karya ibnu Jauzi 9/214 mengutip dari Sawa`ih dan taammulaat fi qimati zaman karya Khaldun al-Ahdab hal 34.
Comments
Post a Comment