Segala puji hanya  untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh  sahabatnya.
A'masy meriwayatkan dari orang yang  menceritakan kepadanya, ia berkata: Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu  berkata: 'Jika aku mengolok olok anjing niscaya aku merasa khawatir menjadi  anjing, sungguh aku membenci seorang laki laki yang menganggur, tidak dalam  pekerjaan akhirat dan tidak pula pekerjaan dunia.'[1]
Dari Hasan al-Bashri rahimahullah, ia  berkata: 'Wahai keturunan Adam 'alaihissalam, sesungguhnya engkau adalah  beberapa hari, setiap kali pergi satu hari niscaya telah pergi sebagiannya.'[2]
Dari Hasan pula, ia berkata: 'Saya telah  bertemu beberapa kaum, salah seorang dari mereka lebih pelit terhadap umurnya  dari uangnya.'[3]
Dari ucapan Hasan juga dalam memberikan  nasehat kepada para muridnya untuk membuat mereka zuhud terhadap dunia dan  senang terhadap akhirat: 'Janganlah mata benda dunia yang sedikit lagi fana melalaikan  engkau, janganlah menunggu nafasmu karena ia cepat berkurang dari usiamu, maka  bersegeralah sebelum ajalmu, janganlah engkau mengatakan 'besok, besok,' karena  engkau tidak pernah tahu kapanlah engkau akan kembali kepada Allah ta'ala.'[4]
Ar-Raqqam berkata: Aku bertanya kepada  Abdurrahman (maksudnya ibnu Abi Hatim) tentang begitu banyaknya ia mendengar  ilmu dan pertanyaannya kepada bapaknya, ia menjawab: 'Terkadang ia sedang makan  dan aku membacakan atasnya, ia sedang berjalan dan aku membacakan atasnya, ia  masuk kamar mandi dan aku membacakan atasnya, dan ia masuk ke rumah mencari  sesuatu dan aku membacakan atasnya.'[5]
                Ar-Razi berkata: Aku mendengar  Ali bin Ahmad al-Khawarizmy berkata: Aku mendengar Abdurrahman bin Abi Hatim  berkata: 'Kami berada di Mesir selama tujuh bulan, tidak pernah makan kuah,  setiap waktu kami di siang hari di bagi di majelis majelis para syaikh, di  malam hari digunakan untuk menyalin dan muqabalah (membandingkan kitab asli  dan salinan). Ia berkata: 'Pada satu hari, aku bersama temanku mendatangi  seorang syaikh, mereka berkata: Beliau sakit.   Di jalan saat pulang, kami melihat ikan yang kami sukai, kami pun  membelinya. Maka tatkala kami sampai di rumah, tibalah waktu menghadiri majelis  syaikh maka kami tidak bisa memasaknya, dan kami langsung menuju majelis. Maka  kami terus seperti itu hingga tiga hari, dan ikan itu hampir berubah, maka kami  memakannya mentah, kami tidak punya waktu untuk memberikannya kepada orang yang  membakarnya. Kemudian ia berkata: 'Ilmu tidak bisa didapatkan dengan tubuh yang  santai.'[6]
                Qasim bin 'Asakir berkata, dari  Sulaim bin Ayub, ia berkata: Diceritakan orang kepadaku bahwa ia menghisab  dirinya pada hitungan nafas, ia tidak membiarkan waktu berlalu tanpa faedah, bisa  jadi menyalin atau belajar atau membaca. Dan diceritakan orang kepadaku bahwa  ia menggerakkan kedua bibirnya sampai ia menggerakkan penanya.[7] 
                Abul Wafa` Ali bin Aqil  menceritakan tentang dirinya, ia berkata: 'Sesungguhnya tidak halal bagiku  menyia nyiakan satu waktu dari umurku, sehingga bila mengistirahatkan lisanku  dari mudzakarah dan diskusi, dan mengistirahatkan mataku dari muthala'ah, aku  menggunakan pikiranku di saat istirahatku dan aku sedang berbaring, maka aku  tidak bangkit kecuali terlintas di benakku apa yang akan kutuliskan, dan  sungguh aku mendapatkan semangatku terhadap ilmu di saat usia delapan puluhan  melebihi yang kudapatkan di saat aku berusia dua puluhan.[8]
                Dan ia berkata pula: 'Dan aku  berusaha semaksimal mungkin untuk mempersingkat waktu makanku, sehingga aku  memilih kue kering dan memakannya dengan air dari pada memakan roti, karena  perbedaan waktu mengunyahnya, agar ada waktu untuk muthala'ah atau mencatat  faedah yang belum kudapatkan.[9]
                Semoga Allah ta'ala memberi  rahmat kepada wazir yang faqih Yahya bin Muhammad bin Hubairah –guru ibnul  Jauzy- ketika ia berkata: 
Waktu lebih  mahal yang harus dijaga – dan aku melihatnya lebih gampang hilang darimu.[10]
                Di antara yang disebutkan oleh  Ibnu Nafis  -Syaikh kedokteran di  masanya- apabila ia ingin  mengarang,  diletakkan pena yang sudah diraut, ia memalingkan wajahnya ke dinding, ia mulai  mengarang yang ada dalam benaknya, menulis seperti aliran air apabila turun ke  bawah. Apabila pena mulai tumpul, ia melemparnya dan mengambil yang lain agar  tidak tersia sia waktu dalam meraut pena...Syaikh Alauddin –maksudnya Ibnu  Nafis- masuk ke pemandian di pintu Zahumah, maka tatkala sedang mandi, ia  keluar menuju tempat ganti baju, ia meminta dawat, pena dan kertas, ia mulai  menulis di Nabdh hingga menyelesaikannya, kemudian ia kembali memasuki  pemandian dan menyelesaikan mandinya.[11]
                Ibnul Jauzy rahimahullah berkata  tentang dirinya: 'Sungguh aku melihat banyak orang  bergaul bersamaku seperti kebiasaan manusia  yang banyak berkunjung, mereka menamakan hal itu sebagai pelayanan, meminta  duduk bersama, berbicara tentang pembicaraan manusia yang tidak berguna, dan  diselingi menggunjing. 
 Ini adalah sesuatu yang banyak dilakukan  manusia di masa kami, terkadang yang dikunjungi meminta hal itu dan  merindukannya, serta merasa asing bila sendirian, terutama di hari lebaran.  Maka engkau melihat mereka berjalan bersama sama, tidak mencukupkan diri hanya  memberi salam dan mengucapkan selamat, bahkan mencampur hal itu dengan perkara  yang kusebutkan berupa menyia nyiakan waktu.
Maka  tatkala aku melihat bahwa waktu adalah sangat berharga dan wajib mengambil  kesempatan dengan melakukan kebaikan, aku membenci hal itu dan aku tetap  bersama mereka di antara dua perkara: jika aku mengingkari hal itu niscaya  terjadilah keterasingan hingga terputus hubungan, dan jika aku menerimanya  darinya mereka niscaya waktu hilang sia sia, maka jadilah aku menghindari  pertemuan sebatas kemampuan, apabila terpaksa aku membatasi ucapan agar segera  berpisah.
Kemudian  aku menyiapkan pekerjaan yang tidak mengganggu pembicaraan di saat bertemu  mereka agar waktu tidak hilang percuma, maka aku menyiapkan kertas untuk  ditulis, menajamkan pena, mengikat buku, karena semua itu adalah keharusan.  Tidak perlu berpikir dan konsentrasi, maka aku menyiapkannya untuk waktu  kunjungan mereka agar tidak hilang sedikitpun dari waktuku.'[12]
[8] Al-Muntazham karya ibnu Jauzi 9/214 mengutip dari Sawa`ih  dan taammulaat fi qimati zaman karya Khaldun al-Ahdab hal 34.